Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 3)
Baca pembahasan sebelumnya Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 2)
Salah Satu Konsekuensi Kalimat Tauhid
Al-wala’ dan al-bara’ merupakan salah satu konsekuensi laa ilaaha illallah
Membenci dan memusuhi syirik, sangat terkait dengan aqidah yang saat ini telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin, yaitu aqidah al-wala’ wal bara’. Padahal di antara konsekuensi kalimat syahadat adalah seseorang mewujudkan aqidah al-wala’ wal bara’ ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa pada asalnya, al-wala’ berarti cinta dan dekat, sedangkan al-bara’ berarti benci dan jauh. [1]
Sehingga yang dimaksud dengan al-wala’ adalah menolong, mencintai, memuliakan, dan menghormati, serta selalu merasa bersama dengan orang yang dicintainya baik secara lahir maupun batin. Adapun yang dimaksud dengan al-bara’ adalah menjauh, berlepas diri, membenci, dan memberikan permusuhan.
Hikmah Wajibnya Perkara Al-wala’ dan Al-bara’
Di antara pokok aqidah Islamiyyah adalah wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan al-wala’ dan al-bara’, sehingga dia mencintai sesama muslim lainnya dan membenci musuh-musuhnya. Dia mencintai orang-orang yang bertauhid dan loyal kepada mereka, serta membenci dan memusuhi pelaku syirik. Allah Ta’ala telah mengharamkan orang-orang beriman untuk mencintai dan loyal kepada orang-orang kafir, meskipun mereka adalah kerabat dan saudaranya sendiri.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali [yaitu, teman akrab, pemimpin, pelindung, atau penolong, pen.] dengan meninggalkan orang-orang mukmin lainnya. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 28)
Allah Ta’ala berfirman,
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya. Dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (QS. An-Nisa’ [4]: 89)
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 23)
Konsekuensi Rasa Cinta pada Allah Ta’ala
Al-wala’ dan al-bara’ merupakan konsekuensi rasa cinta kita kepada Allah Ta’ala. Orang yang mencintai Allah Ta’ala, maka dia dituntut untuk membuktikan cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu dengan mencintai yang Allah Ta’ala cintai, dan membenci apa yang Allah Ta’ala benci. Di antara yang dicintai Allah Ta’ala adalah ketaatan dan orang-orang yang bertakwa, sedangkan di antara yang Allah Ta’ala benci adalah kemaksiatan, kekafiran, dan kemusyrikan. Sehingga Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أوثق عرى الإيمان : الموالاة في الله و المعاداة في الله و الحب في الله و البغض في الله عز و جل
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyal dan memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Thabrani. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4304)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أحِب في الله، وأبغِض في اللهِ ، ووالِ في اللهِ ، وعادِ في اللهِ ، فإنّما تُنالُ ولايةُ اللهِ بذلك ، ولن يَجِدَ عبدٌ طعمَ الإيمانِ – وإن كثُرَتْ صلاتُه وصومُه – حتّى يكونَ كذلك ، وقد صارَت عامَّةُ مُؤاخاة الناسِ على أمرِ الدُّنيا ، وذلك لا يُجدي على أهله شيئاً
“Mencintai karena Allah, membenci karena Allah, loyal karena Allah, memusuhi karena Allah, maka dengannya seseorang itu menjadi wali Allah. Dan tidaklah seorang hamba merasakan manisnya iman, meskipun dia banyak shalat dan berpuasa, sampai dia bisa seperti itu. Dan sungguh persaudaraan sebagian besar manusia dibangun di atas urusan dunia. Padahal yang demikian itu tidaklah memberikan manfaat kepada pemiliknya sedikit pun.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 125. Lihat Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, hal. 32-33)
Salah Satu Syarat Sahnya Persaksian “laa ilaaha illallah”
Bahkan, betapa pentingnya aqidah al-wala’ wal bara’ ini sampai-sampai Allah Ta’ala lebih mendahulukan pengingkaran kepada seluruh bentuk peribadatan kepada selain Allah Ta’ala daripada keimanan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Selain itu, di antara ulama bahkan ada yang berpendapat bahwa pengingkaran kepada sesembahan selain Allah Ta’ala merupakan salah satu syarat sah dari persaksian “laa ilaaha illallah”. [2]
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ
“Barangsiapa yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’ dan mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka telah terlindung harta dan darahnya. Sedangkan perhitungan amalnya terserah kepada Allah.” (HR. Muslim no. 139)
Inilah prinsip utama agama Islam, yaitu beriman dan beribadah hanya kepada Allah dan menentang setiap peribadatan kepada selain-Nya. Sehingga setiap muslim yang benar-benar sebagai seorang muslim, pasti meyakini bahwa penyembahan kepada malaikat, nabi, binatang, benda, patung, atau setan, dan lain-lain adalah bentuk kemusyrikan yang harus diingkari dan diperangi. Karena itu semua bertentangan dengan keimanan dan merupakan kekufuran. [3]
[Bersambung]
***
@Jogjakarta, 1 Dzulhijjah 1440/2 Agustus 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel asli: https://muslim.or.id/51967-marah-ketika-melihat-kesyirikan-bag-3.html